TABAYYUN Bedakan FAKTA Sejarah dengan Mitos Legenda

banner

TABAYYUN CARA MENGHINDARKAN DIRI DARI BAHAYA FITNAH

bekasi-online.com, Kamis 30 April 2015, 09:30 WIB



JAKARTA, bksOL -- Tabayyun itu artinya mencari kejelasan fakta kebenaran, tidak berdasarkan prasangka. Karena prasangka itu hanyalah DUSTA semata. Sudah jarang orang sekarang berTABAYYUN tapi mereka hanya mendahulukan prasangka, karena kotornya hati atau karena jarangnya dia mendahulukan berpikir baik justru terhadap dirinya sendiri dan saudaranya.

Itulah gunanya kita diperintahkan menyelidiki kebenaran BERTABAYYUN baiksebagai seorang sejarawan, akademisi, orang yg berpendidikan atau orang yang berakala dan juga sebagai seorang MUSLIM dan orang yang mengaku dirinya BERIMAN.

Jika kita menuduhkan sesuatu pada satu cerita berdasarkan prasangka kita, maka sesungguhnya kita adalah termasuk orang yang menyukai DUSTA dan FITNAH. Bagaimana kita bisa selamat dari malapetaka fitnah itu sendiri, jika kita sendiri lebih mendahulukan dusta dan prasangka?

Makanya kenapa diperlukan berprasangka baik dan setelah itu bertabayyun. Alhamdulillah, aku bersyukur diberi nama SIDIK atau SELIDIK, yang menyebabkan saya lebih suka meneliti dan menanyakan langsung ke narasumber daripada berprasangka buruk kepada saudaraku sendiri, kepada istriku, kepada ibundaku, bahkan kepada anakku sendiri.

Karena saya tahu, bahwa setan itu adalah musuh yang nyata. Jadi tak akan suka jika kita manusia mempunyai kedamaian dari setiap kehidupan kita sehari-hari, baik dalam berkomunikasi maupun dalam hal lainnya.

Lalu mengapa kita sering jadi korban fitnah? Bisa jadi karena Allah sedang menguji kita, atau karena perbuatan kita sendiri yang lebih suka mendengarkan GOSSIP dan berghibah.

Karena di dalam ghibah dan gossip itu kadang ada peluang setan untuk menyebarkan kebencian dan fitnah. Sedangkan kita sudah diingatkan berkali-kali, untuk apalah kita bersilaturrahim jika kita habiskan waktu kita dengan maksiyat ghibah dan gossip, yang nantinya akan berakhir dengan fitnah.

Dan jika fitnah sudah datang ke diri kita atau ke saudara kita, langkah berikutnya adalah berprasangka baik, bukan justru menceritakannya kepada orang lain, tapi bertabayyun atau mencari fakta kebenaran atau menyelidiki kebenaran dan fakta yang sedang jadi gossip itu sendiri.

Setidaknya ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar kita terhindar dari kejahatan fitnah itu sendiri, meskipun terkena FITNAH adalah sebuah bentuk ujian atas kesabaran dan integritas kita sebagai muslim, karena fitnah juga datang kepada Rasulullah shalallaahu alaihi wassallam sebagai bukti bahwa baginda Rasul pun diserang fitnah justru untuk membuktikan betapa jahatnya orang-orang yang memfitnahnya dan betapa jahatnya perbuatan fitnah, ghibah dan berprasangka buruk atau su'uzhon itu.

Berikut ini yang membebaskan kita dari penyakit hati yang berkaitan dengan fitnah;
1. Jangan suka berghibah atau bergossip
2. Jangan suka berprasangka buruk
3. Dahulukan prasangka baik
4. Bertabayyun
5. Memperbanyak istighfar
6. Bertaubat dari sifat suka bergossip
7. Bertaubat dari sifat suka menyebar fitnah

Berikut ini saya kutipkan artikel tentang tabayyun dari ustadz  ulama dengan dalil-dalil Al-Quran dan Al-Hadits

MENGAPA MESTI TABAYYUN?

Oleh: Ustadz Syaikh Mudrika

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang fasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian. [al-Hujurât/49:6].

MUQADDIMAH
Kehidupan bermasyarakat tidak lekang dari isu, gosip sampai adu domba antar manusia. Keadaan ini diperkeruh oleh adanya sekelompok masyarakat menjadikan gosip dan 'aib serta 'aurat (kehormatan) orang lain sebagai komoditas perdagangan untuk meraup keuntungan dunia. Bahkan untuk tujuan popularitas ada yang menjual gosip yang menyangkut diri dan keluarganya.

Perilaku gosip yang telah menjadi penyakit masyarakat ini tidak disadari oleh kebanyakan pecandunya, bahwasanya menyebarluaskan gosip itu ibarat telah saling memakan daging bangkai saudaranya sendiri.

Allah Ta'ala menggambarkan demikian itu ketika melarang kaum beriman saling ghibah (menggunjing), sebagaimana tersebut dalam al-Qur`ân:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. Apakah di antara kalian ada yang suka menyantap daging bangkai saudaranya sendiri? Sudah barang tentu kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang. [al-Hujurât/49:12].

Dari penyakit ini, syahwat akan meluas dan berkembang penyakit lain yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong, memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan), at-tahazzub (kekelompokan), al-walaâ' dan al-baraâ' (suka dan benci) yang tidak sesuai tempatnya, bahkan sampai bisa sampai pada tahapan saling membunuh. Na'ûdzu billâhi min dzâlik.

Penyakit menggunjing ini tidak akan terobati selama Al-Qur'ân hanya diperlakukan sekadar ilmu pengetahuan yang dibaca dan dikhutbahkan di mimbar- mimbar, dan tidak menjadikannya sebagai terapi. Padahal Allah Ta`ala berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan kami turunkan Al-Qur`ân sebagai obat dan rahmah bagi kaum beriman. [al-Isrâ'/17:82].

Allah Ta`ala juga berfirman:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya Al-Qur`ân ini membimbing ke jalan yang paling lurus. [al-Isrâ'/17:9]

Terapi dari Al-Qur'ân dengan satu kata inti, yaitu tabayyun. Allah Ta'ala telah menyebutkannya dalam surat al-Hujurât/49 ayat 6 ini, dan insyaa Allaah, akan dilakukan pembahasan yang ditinjau dari tiga sisi. Wallâhul- Muwaffiq.

SABABUN- NUZÛL
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Yang terbaik, ialah dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala suku Banil-Mushthaliq, yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i, ayah dari Juwairiyah bintil-Hârits Ummil-Mu`minîn Radhiyallahu anhuma.

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Kami diberitahu oleh Muhammad ibnu Sâbiq, beliau berkata: aku diberitahu 'Îsâ ibnu Dînâr, beliau berkata: aku diberitahu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i Radhiyallahu anhu:

Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlillâh Shalallahu ‘alaihi wa salam . Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: 'Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu'.”

Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasûlillâh Shalallahu ‘alaihi wa salam, ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu al-Hârits mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan mengumumkan: “Dulu Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku, sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam. Dan tidak mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasûl-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam”.

Sebenarnya Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam telah mengutus al-Walîd ibnu 'Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasûlillâh Shalallahu ‘alaihi wa salam sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku," maka marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits. Sementara itu, al-Hârits telah berangkat bersama kaumnya.

Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Hârits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog:

Pasukan itu berkata: “Ini dia al-Hârits”.
Setelah al-Hârits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?"
Mereka menjawab: “Kepadamu”.
Dia bertanya: “Untuk apa?”

Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah mengutus al-Walîd ibnu 'Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”.

Al-Hârits menyahut: “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sesungguhnya; aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku”.

Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?”

Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu," maka turunlah ayat dalam surat al-Hujurât: [1]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

TAFSIR PER KALIMAT
1. يا أيّها الّذين آمنوا (wahai orang- orang yang beriman).
Ayat ini diawali dengan seruan kepada ahlul-îmân. Disamping kasus ini terjadi di antara kaum beriman seperti yang kami paparkan di atas, juga karena berkaitan dengan perintah yang tidak sah dilaksanakan kecuali oleh orang yang beriman. Ayat ini, sekaligus menunjukkan bahwa penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan seseorang. Oleh karena itu, mari kita mempersiapkan telinga dan hati, seraya memohon kepada Allah agar melapangkan dada kita dengan nasihat ayat ini.

2. إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (jika ada orang fâsiq yang datang kepadamu dengan membawa berita penting).
An-Naba', artinya isu (kabar) penting. Adapun orang faasiq, ialah pelaku fusuuq, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan adalah fusuuq. Karena itu, faasiq diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil.

Fâsiq besar, identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam banyak ayat al-Qur`ân:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang munaafik itulah orang-orang yang fâsiq. [at-Taubah/9:67].

Kita juga mengetahui, kemunafikan kaum munafikin pada zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam yang sering disebutkan dalam Al-Qur`ân ialah kemunafikan i'tiqâdi (besar). Begitu pula tentang Fir'aun dan para pengikutnya:

إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ

Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fâsiq. [al-Qashash/28:32].

Kefâsikan kecil, identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun (penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih dahulu. Hal ini banyak pula disebutkan Allah, di antaranya pada ayat-ayat berikut.

وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ

Dan janganlah pencatat maupun saksi (hutang-piutang) itu mencelakakan. Dan jika kalian lakukan itu, maka itu menjerumuskan kalian dalam kefasikan. [al-Baqarah/2:282].

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Maka barang siapa yang telah menentukan pada bulan- bulan tersebut untuk berhajji, maka janganlah rafats, jangan pula melakukan fusûq, jangan pula berdebat pada saat berhaji. [al-Baqarah/2:197].

Dalam menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas, para ulama mengatakan, yaitu perbuatan maksiat [2]. Dan kefasikan yang dilakukan oleh shahâbi (sahabat) dalam sababun-nuzûl ayat ini, yaitu kebohongannya dalam menyampaikan berita.

Imam Al-Qurthubi[3] berkata: "Al-Walîd dinyatakan fâsiq, artinya berbohong”.[4]

Sehingga, dampak dari indikasi fâsiq menunjukkan bahwa apabila kebohongan saja yang merupakan kefasikan kecil sudah mengharuskan kita mewaspadai serta perlu untuk tabayyun, maka apalagi jika perbuatan itu merupakan fâsiq besar.

3. فتبيّنوا (maka telitilah dulu).
Ada dua qirâ`ah pada kalimat ini. Jumhûr al-Qurrâ membacanya "fatabayyanû", sedangkan al-Kissâ`i dan para qurrâ` Madinah membacanya "fatatsabbatû".[5] Keduanya benar dan memiliki makna yang sama.[6]

Tentang kalimat ini, ath-Thabari memaknainya: “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya ….”[7]

Syaikh al-Jazâ`iri mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat atau memvonis.[8]

4. أن تصيبوا قوما بجهالة (agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan).

Keterkaitan makna antara ketidaktahuan dengan kesalahan sangat erat, sehingga kata "jahâlah" dimaknai kesalahan.

Imam Al-Qurthubi mengatakan, "bi jahâlah," maksudnya ialah secara salah.[9] Adapun kesalahan yang terus dibela serta dicari-cari pembenarannya dengan berbagai dalih, maka demikian ini merupakan sifat dan kebiasaan kaum Nashara, sehingga Allah Ta'ala menyebut mereka dengan azh-zhâllîn. Yaitu orang-orang yang tersesat sebagaimana disebutkan dalam suurat al-Fâtihah.

Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun meluas.

Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar. Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat.

5. فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (kemudian kalian menyesal atas perlakuan kalian).

Allah Ta'ala menyebutkan penyesalan ini akan menimpa seseorang yang salah dalam menjatuhkan keputusan karena memandang suatu masalah (perkara) tanpa tabayyun, dan bukan dari orang yang diisukan negatif.

Karena yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh tanpa bukti, ia berarti mazhlûm (terzhalimi).

Padahal Rasûlillâh Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu:

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ

Dan hindarilah doa orang yang terzhalimi. Sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doa orang yang terzhalimi dengan Allah.[10]

ANTARA KEUMUMAN LAFAZH DAN KEKHUSUSAN SEBAB DALAM AYAT INI

Merupakan kaidah pokok di kalangan ahli tafsir, bahwa:

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

(yang menjadi patokan adalah keumuman indikasi lafazhnya, bukan kekhususan sebabnya).[11]

Kaidah ini mengajarkan kepada kita, bahwa dalil-dalil yang berlatar belakang kasus tertentu, tidak hanya berlaku untuk kasus tersebut pada waktu itu saja. Tetapi juga berlaku terhadap kasus sejenis pada masa sesudahnya, bahkan kasus-kasus yang tercakup dalam keumuman lafazh tersebut. Dan tentunya, kasus yang sejenis menempati peringkat utama terhadap pemberlakuan ayat tersebut.

Oleh karena itu, dalam ayat ini terdapat dua pedoman.

1. Kasus khusus, yaitu tentang kebohongan al-Walîd dan sunnah tabayyun dari Rasûlillâh Shalallahu ‘alaihi wa salam. Jika tidak melakukan tabayyun, bisa berakibat vonis murtad, peperangan dan pembunuhan.

2. Indikasi umum yang terkandung dalam dua kata bernada muthlak, yaitu "fâsiq", dan "naba'".

Fâsiq, ini berkaitan dengan kualitas pembawa berita. Dalam istilah ahli hadits disebut "rijâl" atau "sanad". Sedangkan "naba'" yang berarti masalah penting, dan dalam istilah ahli hadits disebut matan (substansi berita).

Pada poin ini, kesalahan sebagian orang ialah menyempitkan makna ayat ini dengan mengatakan, jika yang membawa isu (kabar) tersebut atau bahkan yang memberi vonis tersebut seorang ustadz, maka sudah pasti benar, karena ia (ustadz itu) orang shâlih.

Sebaliknya, apabila -- ternyata -- vonis ustadz tersebut salah, karena berdasarkan persangkaan tanpa tabayyun, apakah kita akan menyematkan pada ustadz tersebut sebagai "fâsiq"?

Tatkala Penulis bertanya tentang hal ini kepada al-'Allâmah Syaikh 'Ali Hasan al-Halabi - hafizhahullâh- beliau menjawab dengan tegas: “Engkau perhatikan sabab nuzûl ayat tersebut. Bukankah turun berkenaan tentang shahâbi (sahabat Nabi)?"

Maksud beliau –hafizhahullâh-, bahwasanya shahâbi sudah tentu 'âdil (legitimate), bahkan ta'dîl (legitimasi) para sahabat dari Allah ialah "radhiyallâhu'anhum waradhû 'anhu". Artinya, Allah telah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya.

Kurang legitimate apa shahâbi? Tetapi Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam tetap menyuruh Khâlid ibnul-Walîd agar melakukan tabayyun atau tatsabbut (cross check), karena pengaduan al-Walîd ini akan berakibat fatal. Kasus ini lebih utama dalam penerapan ayat di atas dari pada keumuman lafazh.

Kesimpulan yang bisa diambil dari ayat ini sebagai berikut.
1. Ayat ini merupakan pelajaran adab bagi orang beriman dalam menghadapi suatu isu atau berita yang belum jelas.

2. Pelaksanaan perintah tabayyun, merupakan ibaadah yang dapat meningkatkan iman. Dan meninggalkan tabayyun dapat mengurangi iman.

3. Kewajiban tabayyun dibebankan kepada orang yang menerima kabar berita dan akan menjatuhkan vonis terhadap pihak yang tertuduh.

4. Dilanggarnya perintah tabayyun, dapat berdampat pada kerusakan hubungan pribadi dan masyarakat.

5. Penyesalan di dunia maupun akhirat akan ditimpakan kepada orang yang menerima isu negatif, menyebarkannya, serta kepada orang yang menjatuhkan vonis tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu.

Demikian, tafsir ringkas ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memuliakan kita dengan hidâyatut-taufîq, sehingga kita berlapang dada dengan nasihat ini. Wa âkhiru da'wânâ, 'anil-hamdu lillâhi Rabbil 'âlamîn.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote

  1. Tafsîr al-Qur`ânil- 'Azhîm, Ibnu Katsiir, Maktabah ash-Shafâ, Kairo, Mesir, Cetakan I, Tahun 1425/2004, (7/248).
  2. Kitâbul-Iimaan, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, hlm 278. Kitab Tauhîd, Dr. Shâlih al-Fauzân, Jilid 3, hlm. 26.
  3. Al-Imâm Abu `Abdillâh, Muhammad ibnu Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi.
  4. Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân, Dârul-Kutub al-'Ilmiyyah, Beiruut, Libanon, 16/205.
  5. Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân, 1/ 205. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/383.
  6. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/383.
  7. Ibid.
  8. Aysarut-Tafâsiir, Maktabtul-Ulûm wal-Hikam, Madinah Nabawiyyah, Cetakan ke-6, Tahun 1423 H/ 2003 M, hlm. 1259.
  9. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/ 383.
  10. Shahîh al-Bukhâri, al-Mazhâlim (9, 3/99).
  11. Al-Burhân fî 'Ulûmil-Qur'ân, az-Zarkasyi, Maktabah Dârit-Turâts, Kairo, 1/32

Post a Comment

Silakan pos kan komentar Anda yang sopan dan harap tidak melakukan pelecehan apalagi yang berkaitan dengan SARA.
Terima kasih.
Wassalam
Redaktur bksOL

Previous Post Next Post
banner